Hollow glass spheres (HGS) sebenarnya telah diketahui sejak lama. Sodium borosilicate HGS biasanya digunakan sebagai light-weight fillers dari komposit plastic untuk pembuatan kapal, industri mobil, additives pada industrial explosives, varnishes, dan paint fillers. Perbedaan dengan mineral dan organic fillers adalah HGS sangat unik karena memiliki densitas yang rendah tetapi kekuatan yang tinggi.
Pada industri oil & gas HGS sudah mulai digunakan. Contoh penggunaannya pada additives drilling fluid, cement dan completion fluid sebagai penurun densitas. Pada industri oil & gas biasa disebut low density additives / glass bubble sphere. Glass bubble sphere ini biasanya dicampurkan dalam drilling fluid untuk mendapatkan densitas yang rendah. Sehingga mampu menghadapi zona loss circulation dan juga untuk pemboran underbalance. Material pembentuk glass bubble sphere adalah soda – lime – Boro silicate glass (SiO2, CaO, B2O3, NaO2, SO3) yang sama seperti bahan pembuatan Pyrex® glassware. Struktur kimia ini sangat stabil sehingga tidak dapat dipecahkan (insoluble) dalam air maupun minyak serta bersifat non-compressible. Glass bubble sphere berbentuk bulat sempurna (spherical) dengan luas permukaan yang minimum sehingga meningkatkan aliran dan non abrasive (Ball Bearing Effect).
Keunggulan dari LDA / Glass bubble sphere :
·Mampu menghasilkan densitas 0.38 – 0.66 gr/cc
·Incompressible sehingga mampu menghasilkan densitas yang stabil.
·Menjaga kestabilan lubang bor
·Mempunyai hole cleaning yang baik
·Meminimalisasi differential sticking
·Mengurangi loss circulation sehingga mengurangi NPT.
·Mudah diproses, dan compatible / cocok dengan surface cleaning equipment (Solid control equipment).
Kekurangan dari LDA / Glass bubble sphere :
·Memiliki fatigue strength yang tidak terlalu lama, sehingga dalam sekian cycle glass bubble sphere dapat hancur.
·Jika glass bubble sphere pecah maka akan menimbulkan peningkatan densitas yang cukup signifikan (berat cangkang).
·Karena ukuran yang sangat kecil sehingga sulit untuk tersaring di solid control equipment sehingga harus menggunakan metode yang berbeda (membutuhkan tangki tambahan).
·Pencampuran serbuk silicate sangat berbahaya karena ukuran butir yang kecil sehingga mudah terbawa angin dan terhisap.
By: Yoppy Setiadi (Drilling Engineer Samudra Energy) dan Zulfikar (EOR Engineer Samudra Energy)
Mungkin tidak banyak diantara kita yang tahu akan kemajuan industri migas di Belanda yang dimotori oleh perusahaan raksasa Belanda bernama Shell. Selain itu, untuk dikatahui bahwa kemajuan industri migas di Belanda saat ini ternyata tidak lepas dengan sejarah awal perkembangan migas di Indonesia.
Pada pertengahan abad ke-19, Corps of the Mining Engineers, suatu institusi Belanda, telah melaporkan penemuan minyak pada dekade 1850-an, antara lain di Karawang (1850), Semarang (1853), Kalimantan Barat (1957), Palembang (1858), Rembang dan Bojonegoro (1858), Surabaya dan Lamongan (1858). Temuan minyak terus berlanjut pada dekade berikutnya, antara lain di daerah Demak (1862), Muara Enim (1864), Purbalingga (1864) dan Madura (1866), Telaga Said, Langkat, Sumatra Utara (1883). Untuk mendukung pengembangan usaha minyak di lapangan Telaga Said, Langkat, Sumatra Utara ini, maka dibangunlah jaringan pipa dan kilang minyak oleh Jean Baptist August, sepeninggal Zeilker. Tahun 1898, tangki-tangki penimbunan dan fasilitas pelabuhan dibangun di Pangkalan Susu.
Pada tahun 1890, Belanda secara resmi mendirikan perusahaan minyak di Indonesia yang diberi nama NV Koninklijke Nederlandsche Petroleum Maatschappij, atau Royal Dutch Petroleum Company. Pada masa itu, terdapat dua perusahaan besar yang berperan sebagai leader, yakni Royal Dutch dan Shell. Royal Dutch bergerak di bidang eksplorasi, produksi dan pengilangan. Sedangkan Shell, perusahaan raksasa Belanda lainnya, bergerak di bidang usaha transportasi dan pemasaran. Kedua perusahaan besar ini kemudian merger pada tahun 1907 menjadi Royal Dutch–Shell Group, yang kemudian dikenal dengan Shell.
Saat ini, perusahaan minyak milik Belanda tersebut mendapat pengakuan dunia akan prestasinya yang luar biasa sebagai Perusahaan Minyak kelas dunia. Perusahaan minyak asal Belanda, Royal Dutch Shell, menggeser perusahaan ritel AS, untuk meraih posisi teratas dalam daftar 500 perusahaan tersukses di dunia versi majalah Fortune. Hal ini semakin mengokohkan posisi Shell sebagai salah satu perusahaan minyak terbaik di dunia.
Berdasarkan daftar terbaru yang dirilis Fortune, pada tahun 2008 Shell berhasil menarik pendapatan sebesar 458,361 juta dollar AS dengan laba 26,277 juta dollar AS. Meski secara persentase Shell mengalami penurunan laba dibanding tahun 2007, hal tersebut tidak menghalangi Shell naik 2 peringkat untuk mencapai posisi puncak. Bertengger di bawah Shell adalah kompetitor utamanya, Exxon Mobil. Berikut ini adalah daftar 10 besar perusahaan terbesar di dunia versi majalah Fortune:
1. Royal Dutch Shell
2. Exxon Mobil
3. Wal-Mart Stores
4. BP
5. Chevron
6. Total
7. Conoco Philips
8. ING Group
9. Sinopec
10. Toyota Motor
Ini membuktikan bahwa Belanda termasuk Negara terbaik didunia dalam bidang Oil and Gas yang didukung oleh kemajuan teknologi, pendidikan dan kekuatan perekonomian Negara kecil berjuluk Kincir Angin ini. Produk minyak hasil pengolahan milik Shell ini juga terdistribusi sampai ke Indonesia, hal ini dapat kita lihat di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, yang banyak terdapat stasiun-stasiun pengisian BBM milik Shell.
Dengan kepiawaian Belanda di bidang perminyakan ini, semoga menjadi motivasi bagi Indonesia untuk memajukan sektor Migasnya.
oleh: Zulfikar (Reservoir and EOR Engineer Samudra Energy)
“Reservoir Engineering” merupakan cabang dari “Petroleum Engineering” dengan tugas utamanya adalah peramalan kelakuan reservoir, laju produksi dan jumlah minyak atau gas yang dapat diproduksikan dari suatu sumur, sekelompok sumur, ataupun dari seluruh reservoir di masa datang, berdasarkan anggapan-anggapan yang mungkin, ataupun dari sejarah masa lalunya yang sudah ada.
Secara umum seorang “reservoir enginer” akan berhubungan dengan :
·Data dasar, data mengenai sifat fisika/kimia-kimia-fisika, batuan dan fluida reservoir.
·Aliran fluida dalam media berpori.
·Test sumur, meliputi : test tekanan, produktivitas, komunikasi antar reservoir dan/atau layer.
·Kelakuan reservoir, perawalan kelakuan reservoir di masa datang berdasarkan kelakuan di masa lalu.
·Penentuan besarnya cadangan, baik awal maupun sisa.
·Peningkatan recovery.
·Analisis keekonomian.
Dasar-dasar teknik reservoir membahas mengenai sifat-sifat reservoir, permeabilitas, aliran fluida seperti laju produksi pendesakan dan efisiensi pendorongan fluida, saturasi, tekanan kapiler yang mencerminkan distribusi saturasi fluida dalam reservoir, kompresibilitas yang mencerminkan pengaruh perubahan tekanan terhadap fluida maupun batuan.
Estimasi cadangan reservoir dan peramalan produksi yang akan datang adalah bagian penting daripada proses evaluasi pada industri minyak dan gas bumi, tapi pekerjaan tersebut bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan dan membutuhkan suatu ketelitian. Kedua masalah tersebut kemungkinan dapat diselesaikan dengan metode-metode perhitungan yang ada (misalnya: Material Balance, decline curve dan Simulasi Reservoir). Metode material balance dan simulasi resevoir kemungkinan tidak dapat dilakukan dikarenakan beberapa data yang dibutuhkan tidak tersedia, perhitungan dibatasi oleh waktu yang ada atau adanya kebutuhan yang mendesak terhadap informasi yang diinginkan. Untuk itu dibutuhkan suatu metode yang dapat digunakan dengan cepat tanpa mengabaikan keakuratan atau kualitas dari output yang dihasilkan, dimana metode tersebut adalah Decline Curve.
Decline Curve (analisa kurva penurunan produksi) adalah salah satu metode untuk melakukan peramalan produksi yang akan datang dimana konsep dasarnya adalah trend atau pola produksi dimasa lampu diperkirakan akan terjadi juga dimasa yang akan datang. Decline curve adalah metode yang paling umum digunakan dalam peramalan produksi karena mempunyai beberapa kelebihan-kelebihan disamping beberapa kelemahannya. Kemudahan untuk mendapatkan data yang dibutuhkan, kemudahan untuk memplot data, hasilnya berbasiskan waktu dan kemudahan untuk melakukan analisa adalah kelebihan-kelebihan dari decline curve. Adapun kelemahannya adalah dibutuhkan paling sedikitnya enam bulan data sejarah produksi (lebih baik minimal 2 tahun), dan tidak dapat digunakan untuk perubahan metode produksi.
Chemical Flooding (Injeksi Kimia) adalah salah satu jenis metode pengurasan minyak tahap lanjut (EOR) dengan jalan menambahkan zat-zat kimia ke dalam air injeksi untuk menaikkan perolehan minyak sehingga akan menaikkan efisiensi penyapuan dan atau menurunkkan saturasi minyak sisa yang tertinggal di reservoir.
Injeksi kimia memiliki prospek yang bagus, pada reservoir-reservoir yang telah sukses dilakukan injeksi air dengan kandungan minyak yang masih bernilai ekonomis. Tetapi pengembangannya masih lambat, karena biaya dan resiko yang tinggi serta teknologinya yang kompleks. Beberapa faktor yang dirasakan penting dalam menentukan keberhasilan suatu injeksi kimia ialah :
Kedalaman
Tingkat heterogenitas reservoir
Sifat-sifat petrofisik
Kemiringan
Mekanisme pendorong
Cadangan minyak tersisa
Saturasi minyak tersisa
Viskositas minyak
Ada 3 tipe umum yang termasuk dalam injeksi kimia, yaitu Injeksi Polymer, Injeksi Surfactant, dan Injeksi Alkaline. Tetapi seiring dengan perkembangan penelitian, ada kombinasi antara injeksi surfactant dan injeksi polymer atau yang lebih dikenal dengan nama Micellar-Polymer Flooding.
Injeksi Polymer meliputi penambahan bahan pengental (thickening agent) ke dalam air injeksi untuk meningkatkan viskositasnya. Bahan pengental yang biasa dipakai adalah polymer. Metode ini memiliki keuntungan dapat mengurangi volume total air yang diperlukan untruk mencapai saturasi minyak sisa dan meningkatkan efisiensi penyapuan karena memperbaiki perbandingan mobilitas minyak-air.
Kadang sering dipakai berselang-seling dengan surfactant. Injeksi surfactant betujuan untuk menurunkan tegangan antar muka dan mendesak minyak yang tidak terdesak hanya dengan menggunakan pendorong air sehingga menaikkan efisiensi pendesakan dalam skala pori. Injeksi alkaline merupakan sebuah proses dimana pH air injeksi dikontrol pada harga 12-13 untuk memperbaiki perolehan minyak, biasanya dilakukan dengan penambahan NaOH. Untuk micellar-polymer flooding akan memberikan tingkat perolehan minyak yang lebih besar dibanding dengan ketiga injeksi kimia lainnya, dikarenakan micellar-polymer flooding dapat meningkatkan efisiensi penyapuan dan efisiensi pendesakan sehingga akan meningkatkan mobilitas minyak di reservoir.
Injeksi Surfactant
Injeksi surfactant digunakan untuk menurunkan tegangan antarmuka minyak-fluida injeksi supaya perolehan minyak meningkat. Jadi effisiensi injeksi meningkat sesuai dengan penurunan tegangan antarmuka (L.C Uren and E.H Fahmy). Ojeda et al (1954) mengidentifikasikan parameter-parameter penting yang menentukan kinerja injeksi surfactant, yaitu :
•Geometri pori
•Tegangan antarmuka
•Kebasahan atau sudut kontak
•ΔP atau ΔP/L
•Karakteristik perpindahan kromatografis surfactant pada sistem tertentu
Injeksi surfactant ini ditujukan untuk memproduksikan residual oil yang ditinggalkan oleh water drive, dimana minyak yang terjebak oleh tekanan kapiler, sehingga tidak dapat bergerak dapat dikeluarkan dengan menginjeksikan larutan surfactant. Percampuran surfactant dengan minyak membentuk emulsi yang akan mengurangi tekanan kapiler.
Setelah minyak dapat bergerak, maka diharapkan tidak ada lagi minyak yang tertinggal. Pada surfactant flooding kita tidak perlu menginjeksikan surfactant seterusnya, melainkan diikuti dengan fluida pendesak lainnya, yaitu air yang dicampur dengan polymer untuk meningkatkan efisiensi penya¬puan dan akhirnya diinjeksikan air.
Untuk memperbaiki kondisi reservoir yang tidak diharapkan, seperti konsentrasi ion bervalensi dua, salinitas air formasi yang sangat tinggi, serta absorbsi batuan reservoir terhadap larutan dan kondisi-kondisi lain yang mungkin da¬pat menghambat proses surfaktan flooding, maka perlu ditambahkan bahan-bahan kimia yang lain seperti kosurfaktan (u¬mumnya alkohol) dan larutan NaCl. Disamping kedua additive diatas, yang perlu diperha¬tikan dalam operasi surfaktan flooding adalah kualitas dan kuantitas dari zat tersebut.
Pada dasarnya ada dua konsep yang telah dikembangkan dalam penggunaan surfactant untuk meningkatkan perolehan minyak. Konsep pertama adalah larutan yang mengandung surfactant dengan konsentrasi rendah diinjeksikan. Surfactant dilarutkan di dalam air atau minyak dan berada dalam jumlah yang setimbang dengan gumpalan-gumpalan surfactant yang dikenal sebagai micelle. Sejumlah besar fluida (sekitar 15 – 60% atau lebih) diinjeksikan ke dalam reservoir untuk mengurangi tegangan antarmuka antara minyak dan air, sehingga dapat meningkatkan perolehan minyak.
Pada konsep kedua, larutan surfactant dengan konsentrasi yang lebih tinggi diinjeksikan ke dalam reservoir dalam jumlah yang relatif kecil (3 – 20% PV). Dalam hal ini, micelles yang terbentuk bisa berupa dispersi stabil air di dalam hidrokarbon atau hidrokarbon di dalam air.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya surfactant pada permukaan air/minyak antara lain :
Jenis asam organik yang terkandung
Komposisi kimiawi minyak mentah
Kadar wax, dan sebagainya
Penelitian yang mendalam mengenai faktor-faktor ini belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, didalam prakteknya, harus kasus perkasus perlu diteliti. Dengan melihat kenyataan bahwa penurunan tegangan antarmuka yang drastis dapat memperbesar recovery, maka percobaan pemakaian surfactant yang dimanufaktur kemudian banyak dilakukan. Dan juga jenis minyak buminya tidak lagi tergantung pada berapa acid numbernya.
Dasar pertimbangan yang diguankan untuk memilih metoda pendesakan surfactant pada suatu reservoir, yang diperoleh dari data empiris diantaranya meliputi
Sifat fisik fluida reservoir yang terdiri dari : gravity minyak, viskositas minyak, komposisi dan kandugan kloridanya.
Sifat fisik batuan reservoir yang terdiri dari : saturasi minyak sisa, tipe formasinya, ketebalan, kedalaman, permeabilitas rata-rata dan temperaturnya.
Kriteria seleksi untuk injeksi surfactant yang diharapkan dapat menghasilkan perolehan optimum adalah sebagai berikut :
1.Kualitas crude oil
Gravity : > 25 API
Viskositas : < 30 cp
Permeabilitas rata-rata (mD) : < 250
Kandungan klorida : < 20000 ppm
Saturasi minyak sisa : > 20
Jenis batuan : Sandstone
Komposisi diutamakan minyak menengah ringan (Light Intermediate)
2.Surfactant dan polimer
Ukuran dari slug adalah 5 – 15% dari volume pori (PV) untuk sistim surfactant yang tinggi konsentrasinya sedangkan untuk yang rendah besarnya 15 – 50% dari volume pori (PV).
Konsentrasi polimer berkisar antara 500 – 2000 mg/i
Volume polimer yang diinjeksikan kira-kira 50% dari volume pori.
3.Kondisi reservoir
Saturasi minyak >30% PV
Tipe fomasi diutamakan sandstone
Ketebalan formasi > 10 ft
Permeabilitas > 20 md
Kedalaman < 8000 ft
Temperatur < 175F
4.Batasan lain
Penyapuan areal oleh water floding sebelum injeksi surfactant diusahakan lebih besar dari 50%
Diusahakan formasi yang homogen
Tidak terlalu banyak mengandung annydrite, pysum atau clay.
Salinitas lebih kecil dari 20000 ppm dan kandungan ion divale (Ca dan Mg) lebih kecil dari 500 ppm.
Sifat – sifat Surfactant
Surfactant adalah bahan kimia yang molekulnya selalu mencari tempat diantara dua fluida yang tidak mau bercampur dan surfactant mengikat kedua fluida tersebut menjadi emulsi. Surfactant yang berada di dalam slug harus dibuat agar membentuk micelle, yaitu surfactant yang aktif dan mampu mengikat air dan minyak pada konsentrasi tertentu. Jika konsentrasinya masih kecil, maka campuran surfactant tersebut masih berupa monomor (belum aktif). Untuk itu setiap slug perlu diketahui CMC-nya (Critical Micelles Cocentration) yaitu konsentrasi tertentu, sehingga campuran surfactant yang semula monomor berubah menjadi micelle.
Surfactant yang umum dipakai dalam proses eksploitasi EOR adalah sodium sulfonate yang ionik bermuatan negatif. Sedangkan jenis lain jarang dipakai. Larutan surfactant yang biasa digunakan di lapangan untuk pendesakan minyak sisa hasil pendorongan air, terdiri dari komponen surfactant, air, minyak dan alkohol sebagai kosurfactant. Campuran cairan surfactant ini diijeksikan ke dalam reservoir sebagai slug kemudian didorong oleh larutan polimer untuk memperbaiki mobilitas aliran, selanjutnya diikuti pendorongan air agar hemat bahan polimer. Slug yang biasa digunakan dari 5 - 15 % PV (Pore Volume), diharapkan kemampuannya menghasilkan tambahan perolehan diatas perolehan jika digunakan secondery recovery.
Variabel–variabel yang mempengaruhi Injeksi Surfactant
Variabel-variabel yang mempengaruhi injeksi surfactant diantaranya adalah adsorbsi, konsentrasi slug surfactant, clay, salinitas.
•Adsorbsi
Persoalan yang dijumpai pada injeksi surfactant adalah adsorbsi batuan reservoir terhadap larutan surfactant. Adsorbsi batuan reservoir pada slug surfactant terjadi akibat gaya tarik-menarik antara molekul-molekul surfactant dengan batuan reservoir dan besarnya gaya ini tergantung dari besarnya afinitas batuan reservoir terhadap surfactant. Jika adsorbsi yang terjadi kuat sekali, maka surfactant yang ada dalam slug surfactant menjadi menipis, akibatnya kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan minyak-air semakin menurun.
Mekanisme terjadinya adsorbsi adalah sebagai berikut, surfactant yang dilarutkan dalam air yang merupakan microemulsion diinjeksikan ke dalam reservoir. Slug surfactant akan mempengaruhi tegangan permukaan minyak-air, sekaligus akan bersinggungan dengan permukaan butiran batuan. Pada saat terjadi persinggungan ini molekul-molekul surfactant akan ditarik oleh molekul-molekul batuan reservoir dan diendapkan pada permukaan batuan secara kontinyu sampai mencapai titik jenuh. Akibatnya kualitas surfactant menurun karena terjadi adsorbsi sehingga mengakibatkan fraksinasi, yaitu pemisahan surfactant dengan berat ekivalen rendah didepan dibandingkan dengan berat ekivalen tinggi.
•Konsentrasi Slug Surfactant
Konsentrasi surfactant juga berpengaruh besar terhadap terjadinya adsorbsi batuan reservoir pada surfactant. Makin pekat konsentrasi surfactant yang digunakan, maka akan semakin besar adsorbsi yang diakibatkannya mencapai titik jenuh.
•Clay
Terdapatnya clay dalam reservoir harus diperhitungkan karena clay dapat menurunkan recovery minyak, disebabkan oleh sifat clay yang suka air (Lyophile) menyebabkan adsorbsi yang terjadi besar sekali. Untuk reservoir dengan salinitas rendah, peranan clay ini sangat dominan.
•Salinitas
Salinitas air formasi berpengaruh terhadap penurunan tegangan permukaan minyak-air oleh surfactant. Untuk konsentrasi garam-garam tertentu, NaCl akan menyebabkan penurunan tegangan permukaan minyak-air tidak efektif lagi. Hal ini disebabkan karena ikatan kimia yang membentuk NaCl adalah ikatan ion yang sangat mudah terurai menjadi ion Na+ dan ion Cl-, begitu juga halnya dengan molekul-molekul surfactant.Di dalam air ia akan mudah terurai menjadi ion RSO3- dan H+. Konsekuensinya bila pada operasi injeksi surfactant terdapat garam NaCl, maka akan membentuk HCl dan RSO3Na, dimana HCl dan RSO3Na buakan merupakan zat aktif permukaan dan tidak dapat menurunkan tegangan permukaan minyak-air.
Selain mempengaruhi tegangan permukaan minyak-air, garam NaCl juga mengakibatkan fraksinasi surfactant yang lebih besar, sampai batuan reservoir tersebut mencapai titik jenuh.
Mekanisme Injeksi Surfactant
Larutan surfactant yang merupakan microemulsion yang diinjeksikan ke dalam reservoir, mula-mula bersinggungan dengan permukaan gelembung-gelembung minyak melalui film air yang tipis, yang merupakan pembatas antara batuan reservoir dan gelembung-gelembung minyak. Surfactant memulai perannya sebagai zat aktif permukaan untuk menurunkan tegangan permukaan minyak-air. Pertama sekali molekul-molekul surfactant yang mempunyai rumus kimia RSO3H akan terurai dalam air menjadi ion-ion RSO3- dan H+. Ion-ion RSO3- akan bersinggungan dengan gelembung-gelembung minyak, ia akan mempengaruhi ikatan antara molekul-molekul minyak dan juga mempengaruhi adhesion tension antara gelembung-gelembung minyak dengan batuan reservoir, akibatnya ikatan antara gelembung-gelembung minyak akan semakin besar dan adhesion tension semakin kecil sehingga terbentuk oil bank didesak dan diproduksikan.
Pada operasi di lapangan, setelah slug surfactant diinjeksikan kemudian diikuti oleh larutan polimer. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya fingering dan chanelling. Karena surfactant + kosurfactant harganya cukup mahal, di satu pihak polymer melindungi bank ini sehingga tidak terjadi fingering menerobos zone minyak dan di lain pihak melindungi surfactant bank dari terobosan air pendesak.
Agar slug surfactant efektivitasnya dalam mempengaruhi sifat kimia fisika sistem fluida di dalam batuan reservoir dapat berjalan baik, maka hal-hal diatas harus diperhatikan. Misalnya mobilitas masing-masing larutan harus dikontrol. Mobilitas slug surfactant harus lebih kecil dari mobilitas minyak dan air didepannya. Pelaksanaan di lapangan untuk injeksi surfactant meliputi sistem perlakuan terhadap air injeksi, sistem pencampuran slug surfactant dan sistem injeksi fluida.
Sistem Injeksi Fluida
Injeksi fluida ke dalam reservoir dengan melalui beberapa sumur umumnya dilakukan dengan memakai sistem manifold. Karena biasanya digunakan pompa positive displacement untuk menginjeksikan fluida di dalam reservoir, laju aliran volumetris total dapat dikontrol, untuk melihat program injeksi secara keseluruhan.
Tanpa alat pengontrol aliran pada masing-masing sumur, aliran relatif ditentukan dengan mengukur daya tahan aliran dalam aliran masing-masing sumur injeksi. Untuk mengimbangi injeksi yang tak terkontrol, dibutuhkan beberapa jenis kontrol aliran pada masing-masing sumur.
Jika fluida yang diinjeksikan adalah atau slug tercampur (miscible slug), throttling valve sederhana cukup untuk mengukur aliran. Jika sejumlah sumur mendapat fluida dari satu pompa dalam jumlah yang besar, alat-alat pengontrol dapat menjadi tidak stabil karena seluruh sistem saling berhubungan. Perubahan sedikit saja pada perawatan throttling pada sumur menyebabkan perubahan aliran di sebuah sumur yang lainnya, karena laju alir total tetap konstan. Namun sistem ini tetap dapat bekerja jika cukup memonitoring terhadap laju injeksi pada masing-masing sumur.
Performance Reservoir Setelah Injeksi Surfactant
Performance reservoir setelah injeksi surfactant pada dasarnya tidak sama antara satu reservoir dengan reservoir lainnya, tergantung pada karakteristik reservoir tersebut yang lebih sesuai atau tepat untuk pelaksanaan injeksi surfactant. Namun dari data-data yang diperoleh dari keberhasilan injeksi surfactant pada sumur-sumur produksi yang telah dilakukan, dapat diambil performance reservoir setelah injeksi surfactant.
Perolehan minyak yang dapat diharapkan dari injeksi surfactant adalah sekitar 82% dari OOIP, atau bahkan lebih jika dilkakukan injeksi surfactant di laboratorium dengan memakai model batupasir. Namun keseluruhan dari injeksi surfactant dapat dihasilkan perolehan minyak yang lebih besar daripada injeksi air konvensional. Sedangkan perolehan minyak tambahan adalah sekitar 15% dari residual oil reserves. Untuk reservoir dengan kandungan minyak kental atau reservoir minyak berat, perolehan yang mungkin didapat adalah sekitar 30%. Selain itu, reservoir dengan solution gas drive perolehan yang dapat diharapkan lebih kecil, yaitu sekitar 15% dan untuk reservoir dengan water drive, injeksi gas atau gravity drainage sekitar 10%.
Laju produksi minyak selama injeksi surfactant meningkat. Perolehan minyak bertambah jika ukuran buffer mobilitas semakin besar. Perolehan minyak maksimum dengan injeksi surfactant terjadi pada harga salinitas (kadar garam) yang optimal.
Lost circulation has been one of the major challenges that cause much nonproductive rig time each year. With recent advances, curing lost circulation has migrated from “plugging a hole” to “borehole strengthening” that involves more rock mechanics and engineering. These advances have improved the industry’s understanding of mechanisms that can eventually be translated into better solutions and higher success rates. This paper provides a review of the current status of the approaches and a further understanding on some controversial points.
There are two general approaches to lost circulation solutions : proactive and corrective, based on whether lost circulation has occurred or not at the time of the application. This paper provides a review of both approaches and discusses the pros and cons related to different methods—from an understanding of rock mechanics and operational challenges.
Introduction
Lost circulation (LC) is defined as the loss of whole mud (e.g.,solids and liquids) into the formation (Messenger 1981). There are two distinguishable categories of losses derived from its leakoff flowpath: Natural and Artificial. Natural lost circulation occurs when drilling operations penetrate formations with large pores, vugs, leaky faults, natural fractures, etc. Artificial lost circulation occurs when pressure exerted at the wellbore exceeds the maximum the wellbore can contain. In this case, hydraulic fractures are
generally created.
During the last century, lost circulation presented great challenges to the petroleum industry, causing significant expenditure of cash and time in fighting the problem. Trouble costs have continued into this century for mud losses, wasted rig time, and ineffective remediation materials and techniques. In worst cases, these losses can also include costs for lost holes, sidetracks, bypassed reserves, abandoned wells, relief wells, and lost petroleum reserves.
The risk of drilling wells in areas known to contain these problematic formations is a key factor in decisions to approve or cancel exploration and development projects.
Suatu reservoir minyak akan menurun kemampuannya dalam berproduksi akibat terbatasnya tekanan alamiah reservoir dan kehilangan tekanan selama proses produksi berlangsung. Pada saat produksi berlangsung, tekanan reservoir akan terus menurun sehingga laju produksi yang dihasilkan pada proses produksi tahap pertama (primary recovery) akan semakin kecil dan cenderung menjadi tidak menguntungkan lagi. Jumlah minyak yang dapat diproduksi pada tahap pertama berkisar antara 10 % sampai dengan 30 % dari jumlah total minyak awal yang terdapat di dalam reservoir. Oleh karena itu jumlah minyak yang masih tersisa dalam reservoir setelah produksi tahap pertama tersebut masih sangat besar.
Proses perolehan minyak tahap pertama merupakan proses perolehan dengan menggunakan tenaga pendorong alami, seperti tenaga pendorong gas terlarut (solution gas drive), tenaga pendorong air (water drive), dan tenaga pendorong tudung gas (gas cap drive). Mengingat masih cukup besarnya minyak yang tersisa setelah produksi tahap pertama, maka untuk mengatasi hal tersebut diupayakan suatu usaha untuk meningkatkan perolehan minyak. Metode peningkatan perolehan minyak tahap lanjut ini dikenal dengan metode peningkatan perolehan tahap kedua (secondary recovery) dan metode peningkatan perolehan tahap ketiga (tertiary recovery). Metode perolehan minyak tahap kedua mengacu pada teknik yang bertujuan untuk mempertahankan tekanan reservoir, seperti injeksi air atau injeksi gas. Sedangkan metode peningkatan perolehan minyak tahap ketiga mengacu pada semua teknik yang diaplikasikan sesudah teknik perolehan tahap kedua.Teknik perolehan minyak tahap kedua dan tahap ketiga biasa dikenal dengan teknik peningkatan perolehan minyak (enhanced oil recovery – EOR). Secara umum EOR didefinisikan sebagai teknik peningkatan perolehan minyak dengan melakukan injeksi material, yang secara normal material tersebut tidak berada di reservoir. Definisi EOR tersebut mencakup semua jenis proses perolehan minyak (drive, push-pull, dan well treatment) dan melingkupi berbagai teknik peningkatan perolehan dengan menggunakan bahan kimia (chemicals agent).
Dari berbagai kajian teoritis, eksperimen di laboratorium, dan lapangan dewasa ini, maka diperkenalkan suatu metode EOR yang baru yaitu vibroseismik (VibroSeismic Impact Technology – VSIT). Pada prinsipnya, metode ini menerapkan stimulasi gelombang elastik ke dalam reservoir dengan menggunakan vibrator dari permukaan. Vibroseismik bukan merupakan pengganti metode EOR konvensional, tetapi dapat digunakan sebagai alternatif atau sebagai alat pelengkap agar metode yang telah ada menjadi lebih efektif dan optimal. Vibrasi seismik, berdasarkan eksperimen lapangan, telah digunakan untuk mendapatkan peningkatan perolehan yang cukup sukses di lapangan minyak Negara Rusia. Berdasarkan eksperimen laboratorium vibrasi seismik dapat memperbesar pori batuan pada kasus tertentu, menurunkan viskositas, meningkatkan permeabilitas, menurunkan tegangan permukaan, dan mengubah komposisi fluida yang ada. Mengacu pada hal tersebut, maka vibrasi seismik ternyata dapat memperbaiki mobilitas minyak. Keunggulan teknologi vibroseismik dibanding teknologi lainnya adalah biaya operasinya yang relatif murah dan tidak merusak lingkungan.
Teknologi eksploitasi baru dari Rusia untuk meremajakan lapangan tua marginal (kurang ekonomis) yaitu teknologi yang menggunakan vibroseis truk dengan roda setinggi manusia dewasa itu menurunkan pelat besi di perutnya dan beratnya bisa mencapai 27 ton. Perlahan pelat baja berukuran 1 x 1,5 meter itu mulai bergetar dan memukul tanah di bawahnya dengan irama tetap. Getaran seismik yang mencapai kedalaman ratusan meter tersebut bisa membangunkan ladang-ladang minyak tua kembali berproduksi.
Sepintas teknik vibroseismik ini terlihat amat mudah. Cuma getarkan, tunggu sebulan, minyak pun menyembur. Tapi, sesungguhnya tak sesederhana itu karena untuk menentukan lokasi penggetaran saja tidak asal-asalan. Ada perhitungan yang harus dilakukan dan perlu teknik monitoring untuk memperkirakan di mana letak yang baik. Setelah menentukan beberapa titik lokasi yang harus digetar, truk pun mulai beraksi. Untuk satu titik, truk itu bisa bergetar 3 – 6 jam sehari. Keesokannya, truk pindah ke titik lain atau tetap pada titik yang sama sesuai dengan kondisi ladang minyak. Kegiatan ini bisa berlangsung 1 – 3 bulan. Reaksi getaran itu bisa langsung dirasakan dengan peningkatan produksi minyak sepekan setelah digetarkan. Namun, ada pula yang responsnya baru terlihat pada enam bulan pasca penggetaran. Dalam beberapa kasus, lapangan tetangga yang berjarak beberapa kilometer juga ikut “bangun”. Kenaikan Recovery Factor yang diperoleh dari tiap – tiap sumur bervariasi, ada yang 10% sampai 70%. Kadar minyak juga bisa meningkat, ada satu lapangan minyak dari 10% menjadi 90%.
Suatu studi laboratorium yang dilakukan oleh Tutuka Ariadji, dkk di laboratorium ITB, vibrasi menyebabkan peningkatan harga porositas efektif batuan sebesar 1% sampai 10% dari harga porositas sebelum vibrasi. Adanya pengaruh dari penggetaran (frekuensi dan amplitudo) terhadap Saturasi Minyak Sisa (Sor) yaitu dapat menurunkan Sor sampai 55 %, menaikkan Permeabilitas Relatif Minyak (kro) sampai 73 %, menaikkan Permeabilitas Relatif Air (krw) sampai 76% dari harga awalnya. Pada umumnya, kenaikan krw lebih tinggi dari pada kenaikan kro atau terjadi kenaikan kadar air untuk frekwensi 10 Hz.
Mekanisme vibroseismik dalam peningkatan perolehan minyak dan gas memiliki dampak pada dua segi, yaitu segi batuan dan fluida yang terdapat di dalam batuan tersebut. Dari segi fluida, getaran yang diberikan akan menambah energi yang nantinya akan mengurangi tekanan kapiler, sekaligus tegangan permukaan. Pada beberapa percobaan yang dilakukan, terdapat juga perubahan viskositas fluida setelah diberi efek getaran. Dari segi batuan, pemberian getaran ini akan memperbesar nilai porositas dan permeabilitas batuan tersebut. Besar kandungan clay juga merupakan faktor yang mempengaruhi hal tersebut.
Meski demikian, tidak semua lapangan minyak cocok menggunakan teknologi ini. Hanya lapangan minyak di darat atau dekat pantai dan memiliki 20° – 38° API. Sifat geologi juga mempengaruhi efektivitasnya. Batuan pasir (sandstone) lebih ramah dibanding gambut atau batu bara, karena lapisan gambut dan batubara meredam frekuensi dan amplitude yang dihantarkan dari vibroseis truk. Teknik vibrasi ini sebetulnya bekerja dengan cara menghilangkan gesekan atau tegangan permukaan antara minyak dan batuan di sekitarnya. Sebagai contoh, permukaan air yang bisa bergerak sampai ke mulut botol bila diberi getaran. Tegangan permukaan air dengan dinding botol hilang sehingga air bisa tumpah keluar.
Teknik ini paling ekonomis dan effisien dibanding teknik Enhanced Oil Recovery (EOR) yang ada karena tidak memerlukan infrastruktur baru dan tidak perlu penambahan sumur pemboran yang baru dan dapat juga diterapkan dengan metode EOR yang lain secara bersamaan. Teknologi menginjeksikan air ke dalam sumur untuk mendorong minyak keluar selain tidak ekonomis untuk lapangan kecil, juga perlu filter yang mahal. Sedangkan injeksi uap panas bisa mengakibatkan minyak justru meleleh. Selain dari pada itu, teknologi vibroseismik ini merupakan metode yang paling ramah terhadap lingkungan dibandingkan dengan metode lain.
Studi penentuan rancangan fluida injeksi kimia pada skala laboratorium telah dilakukan untuk menunjang implementasi teknologi pengurasan minyak tahap lanjut yang dipersiapkan untuk dapat mereaktivasi suatu lapangan minyak tua (brown field). Beberapa tahap pekerjaan telah dilaksanakan, yang meliputi : creening EOR (Enhanced Oil Recovery), sampling, screening surfaktan, screening polimer dan core flooding Experiment.
Berdasarkan screening awal reservoar yang telah dilakukan terhadap beberapa reservoar (Xo, X, Y dan Z) dengan menggunakan kriteria standar yang lazim digunakan pada industri minyak, maka reservoar-reservoar tersebut sesuai untuk dilakukan injeksi surfaktan dan polimer. Lebih lanjut, untuk memastikan kandidat surfaktan yang digunakan mempunyai kompatibilitas dengan air formasi, maka juga telah dilakukan laboratory screening terhadap lima jenis surfaktan, yaitu S-A, S-B, S-C, S-D dan SE.
Screening surfaktan ini meliputi uji kompatibilitas, kelakuan fasa, dan tegangan antarmuka (interfacial tension reduction). Dari semua uji tersebut, surfaktan S-E dianggap paling memenuhi syarat untuk core flooding, yang ditunjukkan oleh hasil uji kompatibilitas dengan larutan yang terbentuk jernih dan mengindikasikan tidak terjadi presipitasi. Walaupun uji kelakuan fasa menunjukkan terbentuknya fasa bawah, namun harga IFTnya sangat rendah dibandingkan surfaktan-surfaktan yang lain.
Screening polimer yang dilakukan terdiri dari rheologi polimer, uji thermal stability, dan uji filtrasi. Kandidat polimer yang digunakan ada 2 macam, yaitu P-01 dan P-02. Dari rheologi polimer dan uji thermal stability, kedua jenis polimer lolos screening, akan tetapi pada uji filtrasi, laju alir polimer P-02 tidak konstan yang mengindikasikan terjadinya penyumbatan. Oleh karenanya, hanya Polimer P-01 yang memenuhi syarat untuk core flooding. Sehingga, studi ini menghasilkan rancangan fluida injeksi berupa surfaktan S-E dengan konsentrasi 3000 ppm dan polimer P-01 dengan konsentrasi 1000 ppm yang dipersiapkan untuk uji core flooding.
Studi laboratorium tentang kelakuan fasa campuran fluida reservoir dan fluida injeksi dilakukan dengan menggunakan beberapa jenis bahan kimia surfaktan diantaranya ABS (Alkyl Benzene Sulfonate), RSPO10, Emulgen, FAEL (Fatty Alcohol Ethoxylated), Fatty Alcohol, Polyethylene Glycol, dan SLS (Sodium Ligno Sulfonate), serta beberapa jenis co-surfaktan alkohol yaitu: IPA, IBA, dan IAA.
Surfaktan dan co-surfaktan tersebut di atas masing-masing dilarutkan pada beberapa jenis air injeksi dengan berbagai variasi konsentrasi, yang kemudian masing-masing dicampur dengan fluida reservoir (minyak dan air formasi). Beberapa formula campuran telah dibuat untuk memperoleh rancangan fluida injeksi yang optimal untuk dapat diimplementasikan di sebuah lapangan minyak yang telah dilakukan injeksi air. Rancangan tersebut diutamakan dapat menurunkan tegangan antar muka (ultra-low interfacial tention) antara fluida pendorong dan minyak, sehingga dapat meningkatkan efisiensi pengurasan minyak.
Berdasarkan pengamatan terhadap kelakuan fasa campuran antara fluida reservoir dan fluida injeksi, maka dapat diklasifikasikan sebagai: emulsi fasa bawah, mikroemulsi (emulsi fasa tengah), emulsi fasa atas, makrooemulsi, dan endapan. Dalam fasa campuran yang membentuk mikroemulsi, merepresentasikan kondisi pendesakan terbaur (miscible displacement). Sedangkan dalam fasa campuran yang membentuk emulsi fasa atas atau fasa bawah, merepresentasikan kondisi pendesakan tak terbaur (immiscible displacement). Kelakuan fasa campuran tersebut, sangat dipengaruhi oleh: salinitas air pelarut, jenis dan konsentrasi alkohol, suhu, jenis dan konsentrasi surfaktan serta jenis minyak.
Coalbed methane (CBM), atau coalbed gas, adalah deposit gas alam/metana dalam pori-pori batubara. CBM dikenal juga sebagai ‘sweet gas’, karena sedikitnya kandungan sulfur (dalam bentuk hidrogen sulfida). CBM terbentuk secara alamiah, yang berasal dari tanaman yang terperangkap selama ribuan tahun dan terserap ke dalam batubara. Kehadiran gas ini umumnya ditemukan dalam pertambangan batubara di dalam tanah. Karena sifatnya yang mudah meledak apabila ada percikan api, maka keberadaan gas ini memerlukan penanganan serius untuk mencegah kecelakaan kerja.
Produksi CBM
Cekungan yang mengandung CBM memiliki sifat yang sangat berbeda dengan cekungan pasir (sand reservoir), dengan karakteristik sebagai berikut :
Metana tersimpan dalam matriks (pori-pori batubara) melalui proses adsorpsi. Metana terkandung dalam bentuk mendekati cairan, “membasahi” sisi dalam pori-pori batubara.
Porositas matriks umumnya mengacu pada ukuran cleat (retakan sepanjang batubara), dan bukan porositas batubara tersebut. Porositas ini umumnya sangat rendah jika dibandingkan cekungan tradisional (kurang dari 3%).
Gas seringkali terperangkap (namun tidak selalu) dalam batubara, tersegel di dalam batubara dengan kejenuhan air 100%. Cekungan ini harus dikeluarkan airnya sebelum gas metana dapat terdesorpsi dari batubara.
Untuk memproduksi CBM, lubang sumur yang diperkuat dengan pipa baja digali melalui lapisan batubara/coal seam (200-1500 meter di bawah permukaan). Dengan berkurangnya tekanan di dalam lapisan batubara, akibat adanya lubang di permukaan atau masuknya sejumlah kecil air pada coalbed, baik gas maupun air mengalir ke permukaan melalui pipa. Gas yang keluar dari sumur ini kemudian dikirim ke stasiun kompresor menuju jalur pipa gas alam. Air yang ikut keluar bersama gas ini dapat diinjeksikan kembali ke formasi yang terisolasi, dimasukkan ke aliran air dalam pipa, atau digunakan untuk irigasi. Air yang keluar umumnya mengandung natrium bikarbonat dan klorida.
Laju produksi sumur CBM sangat rendah, umumnya berkisar antara 300 ribu cubic feet per hari (sekitar 0,1 m3/detik), dan umumnya memerlukan biaya tinggi. Profil produksi sumur CBM umumnya memiliki karakteristik laju alir gas “negative decline”, karena produksi CBM terjadi setelah air dipompakan dan gas mulai terdesorpsi dan mengalir. Sumur CBM yang kering terlihat tidak berbeda dengan sumur pada umumnya, kecuali laju alir gas yang lebih rendah dan senantiasa menurun.
Proses desorpsi metana mengikuti kurva isoterm Langmuir (kandungan gas vs. Tekanan reservoir). Kurva isoterm ini dapat dideskripsikan secara analitik dengan volume gas maksimum (pada tekanan tak terhingga), dan tekanan saat separuh dari gas yang ada keluar dari batubara. Parameter tersebut (disebut volume Langmuir dan tekanan Langmuir) merupakan sifat batubara, dan sangat bervariasi. Batubara di Alabama jika dibandingkan batubara di Colorado dapat memiliki parameter Langmuir yang sangat berbeda, walaupun memiliki sifat-sifat lainnya yang serupa.
Karena produksi gas dilakukan pada cekungan batubara, maka perubahan tekanan diduga dapat menyebabkan perubahan terhadap porositas dan permeabilitas batubara. Hal ini dikenal juga sebagai matrix shrinkage/swelling (pengerutan/pemekaran matriks). Saat gas terdesorpsi, tekanan gas di dalam pori berkurang, menyebabkan batubara mengkerut dan mencegah aliran gas keluar batubara. Dengan mengkerutnya pori, maka seluruh matriks akan mengkerut, yang akan memperbesar ruang untuk gas keluar melalui cleat, dan meningkatkan laju alir gas.
Perkiraan Cadangan Dunia dan Pemanfaatan CBM
Pada tahun 1997, US Geological Survey meramalkan cadangan CBM sebesar 700 tcf (trillion cubic feet), atau sekitar 20,000 km3 di Amerika Serikat. Dengan harga gas alam sebesar USD 6,05 per MM BTU (USD 5,73/GJ), cadangan tersebut senilai USD 4,37 trilyun. Paling tidak sekitar 100 tcf (2,800 km3) sangat layak untuk diproduksi. Sedangkan wilayah British Columbia diperkirakan memiliki cadangan sekitar 90 tcf. Harga gas alam yang tinggi membuat CBM sangat layak untuk diproduksi saat ini.
CBM dapat digunakan sebagaimana penggunaan gas alam konvensional, yaitu untuk bahan bakar rumah tangga, bahan baku industri petrokimia, serta sebagai bahan bakar alternatif untuk kendaraan bermotor dan pembangkit listrik. Karena CBM secara alami memberikan hasil pembakaran yang bersih, maka hanya diperlukan sedikit pemrosesan tambahan untuk mengurangi dampak lingkungan akibat pemanfaatan CBM.
Potensi CBM di Indonesia
Di Indonesia, CBM sudah dipertimbangkan untuk dijadikan sumber energi alternatif dalam mengatasi krisis energi. Dari hasil kajian Lemigas pada tahun 2005 lalu, cadangan CBM di Indonesia cukup besar, mencapai 400 tcf (bandingkan dengan cadangan gas konvensional yang hanya sekitar 195 tcf).
Terdapat 11 potensi CBM di Indonesia yang telah diidentifikasi, yaitu di Ombilin, Sumatra Selatan, Bengkulu, Jatibarang, Barito, Kutai, Tarakan, Berau, Pasir, Asam-asam, dan Sulawesi Tenggara, dengan cadangan terbesar di Sumatra Selatan sebesar 183 tcf. Saat ini, sebagai bagian dari upaya eksplorasi, sejak bulan April 2005 telah dilakukan pengeboran satu sumur di Pandopo Rambutan, Prabumulih, Sumatra Selatan oleh Badan Litbang ESDM dan Lemigas. Diharapkan produksi CBM ini dapat dijadikan alternatif untuk pembangkit tenaga listrik, terutama di daerah Sumatra Selatan.
Komposisi scale pada lapangan minyak secara umum biasanya terdiri dari :
1. Calcium carbonate, CaCO3.
2. Calcium sulfate, CaSO4.
Jenis scale lainnya adalah (NaCl) atau garam, Gypsum atau (CaSO4.2H2O), dan stronsium sulfate (SrSO4, FeCO3), namun keberadaan scale jenis ini jarang di Indonesia, BaSO4 dan CaSO4 hanya mungkin terjadi kalau produksi di commingle dari dua zona atau lebih. Untuk scale CaSO4 biasanya tidak terjadi di sumur melainkan di boiler atau heater treater, sedangkan CaCO3 akan larut diasam karena scale ini cepat diendapkan dan mudah dihilangkan dengan asam. Tetapi untuk jenis scale yang lambat terjadinya biasanya padat dan sukar sekali dihilangkan dengan asam walaupun bisa larut. CaSO4 misalnya, harus diubah dengan gypsum converter menjadi CaCO3 atau Ca(OH)2 sebelum bisa dilarutkan oleh air garam atau asam. BaSO4 tidak akan larut di asam HCl karena scale ini jenis nya sangat padat dan keras.
1. Scale Kalsium Karbonat (CaCO3)
Scale kalsium karbonat dibentuk oleh kombinasi ion kalsium dengan ion-ion karbonat atau bikarbonat yang terdapat di dalam air formasi. Persamaan reaksinya dijabarkan sebagai berikut :
Pada mulanya, scale berupa partikel-partikel koloid, tetapi karena partikel-partikel ini mempunyai sifat absorbsi, ditambah permukaan batuan formasi dan peralatan produksi yang umumnya kasar, maka melalui proses yang panjang partikel-partikel koloid ini melekat pada batuan formasi dan permukaan peralatan produksi hingga akhirnya membentuk kerak. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan scale CaCO3, yaitu:
a. Temperatur
Makin tinggi temperatur air, kecenderungan pembentukan scale CaCO3 meningkat. Walaupun pada permukaan tidak terbentuk scale, namun dengan suhu yang tinggi pada dasar sumur, maka dapat diprediksi akan ada scale yang terbentuk. Kelarutan CaCO3 berbeda dari kebanyakan zat-zat lain, dimana kelarutannya akan menurun seiring dengan naiknya temperatur. Perubahan temperatur menyebabkan perubahan mobilitas ion-ion dalam larutan dimana semakin tinggi temperaturnya, maka semakin tinggi pula mobilitas ion-ion tersebut, sehingga kemungkinan terjadinya interaksi antara ion Ca2+ dan HCO3- akan semakin besar pula. Hal ini berarti, semakin tinggi temperatur maka kecenderungan terbentuknya endapan CaCO3 semakin meningkat pula atau mengindikasikan semakin rendahnya harga kelarutan CaCO3.
b. Perubahan tekanan
Banyaknya CO2 yang terlarut dalam air tergantung pada tekanan parsialnya, yaitu apabila tekanan partial tinggi gas CO2 yang terlarut juga meningkat. Dengan demikian apabila jumlah CO2 meningkat persamaan reaksi akan bergeser ke kiri dan kelarutan CaCO3 akan meningkat, dengan perkataan lain jumlan scale CaCO3 berkurang. Sebaliknya apabila terjadi penurunan tekanan, seperti yang terjadi pada aliran fluida dalam tubing, CO2 akan keluar dari cairan/air formasi, dan mengakibatkan reaksi bergeser ke kanan dan scale CaCO3 akan terbentuk. Pada lapangan minyak, CaCO3 adalah yang paling umum terjadi. Hal ini adalah karena terlepasnya gas CO2 dari bicarbonate HCO3- (lingkungan asam, pH <7).
Bila CO2 terlepas dari larutan maka pH akan naik, dan kelarutan Karbonat menurun, sehingga bicarbonarte akan diubah ke calsium carbonate yang kurang terlarut, yaitu CaCO3. Sebagai contoh, kehilangan 100mg bicarbonate/liter, air bisa mengendapkan 28,6 lb calcium carbonate per 1000 bbl air.
Pengendapan scale juga tergantung dari adanya ion calcium yang biasanya dari CaCl2, selain alkalinity airnya (konsentrasi HCO3), temperatur, total konsentrasi garam, waktu kontak dan tingkat agitasi. Gambar 5 memperlihatkan efek temperatur terhadap kelarutan calcium carbonate, barium sulfat, dan stronsium sulfat.
c. Pengaruh garam terlarut
Semakin bertambahnya kadar garam di dalam air (sampai dengan 20%), maka akan menyebabkan kelarutan CaCO3 akan bertambah. Dengan demikian kemungkinan pembentukan scale CaCO3 akan berkurang dengan penambahan garam terlarut. Contoh nya kelrutan CaCO3 pada fresh water adalah 100 mg/l, namn kelarutan pada 20% NaCl adalah 250 mg/l.
2. Scale Kalsium Sulfat (CaSO4)
Umumnya scale kalsium sulfat yang ditemui di lapangan berupa gypsum (CaSO4.2H2O). Gypsum adalah senyawa yang stabil pada temperatur kurang dari 40¬oC dan tekanan atmosfer. Diatas temperatur tersebut, akan terbentuk endapan CaSO4 (Anhidrit) dan pada kondisi tertentu hemi-hydrate (CaSO4.½H2O) akan terendapkan. Scale kalsium sulfat terbentuk dari reaksi berikut :
Ca2+ + SO42- → CaSO4
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan scale CaSO4, yaitu:
a. Temperatur
Kelarutan gypsum (CaSO4.2H2O) akan meningkat seiring dengan meningkatnya temperatur hingga mencapai 100oF, namun setelah melewati suhu tersebut kelarutanya akan menurun.
b. Tekanan
Kelarutan CaSO4 dalam air meningkat dengan kenaikan tekanan. Dengan demikian adanya penurunan tekanan, seperti yang terjadi di sumur produksi, merupakan penyebab utama terbentuknya scale CaSO4. Pengurangan tekanan menyebabkan kelarutan menurun dan scale terjadi, selain itu adanya comingle completion menyebabkan pencampuran air antara yang kaya akan Ca dan yang lain kaya akan SO4 menyebabkan terbentuknya scale.
Presented by : Zeindra Ernando (PT Chandra Bumi Sakti)
Achmad Fathoni (PT Pertamina EP Region Jawa, Cirebon)
ABSTRACT
Volcanic reservoir of Jatibarang Formation has been long object to study. The main reservoir Jatibarang Formation reservoir consist of naturally fractured reservoir. This volcanic reservoir divided into three facies: massive tuffacoeus sandstone, laminated tuffaceous sandstone, and conglomerate facies. Realistic characterization of volcanic reservoir is a problem because logging tools are not designed to detect the volcanic reservoir.
An integrated study of petrography, Scanning Electron Microscope (SEM), Side Wall Core (SWC), Full bore Formation Micro Imager (FMI), and well log becomes important thing to define characterization of volcanic Jatibarang Formation. Matrix density and porosity type are important parameters to get appropriate porosity value in each facies. Well test data are used to determine the resistivity water and it will be influenced by value of saturation water. Permeability model is got from Wyllie-Rose formula in each facies.
This paper describes the characterization of volcanic reservoir of Jatibarang Formation to get a model or parameter for each facies based on integrated well data. The well analysis must be done for each facies of volcanic reservoir. Lithology of volcanic Jatibarang reservoir is very complex. It presents difficult to compare relation between reservoir engineer and petrophysicist to get realistic parameter of formation. Matrix density, porosity, and permeability model are important parameters in characterization of volcanic reservoir, so it can be used to another un-cored wells among this well.
INTRODUCTION
The area study is located in Cipunegara Low, North West Java Basin. North West Java Basin is known as the hydrocarbon producing basin. The hydrocarbon is produced from Jatibarang volcanic, lower Cibulakan (Talang Akar and Equivalent Baturaja Formation), and upper Cibulakan, Parigi Formation. (Reminton and Pranyoto, 1985). Jatibarang volcanic have been date as Eocene to Oligocene. They were deposited in the newly developing back arc basin during the initiation of the present subduction zone south of Java (Hamilton, 1979 vide Thomas Kalan et al., 1994). JatibarangFormation consists of unfossiliferous, varicolored and mottled tuffs, porphyry andesite, basalt and red claystone and also wasdepositedon top of Pretertiary basement troughs or grabens and low area. The barren sediment with their variegated color, most likely represent a continental to fluvial environment. (Arpandi andPadmosukismo, 1975).
Jatibarang Formation, North West Java Basin has been studied for long time. The main reservoirs of Jatibarang Formation consist of naturally fractured reservoir. Reservoir characterization of volcanic rocks in the “Ratu-01” well must be reviewed and the basis for a research topic in the context of preparing final project researchers because of logging tools are not designed to detect the volcanic character, so the author has to do the integrated study of well data. Based on integrated study of petrography, SEM, and sidewall core analysis from “Ratu-1” well, the Jatibarang Formation may be identified as altered volcanic sediment as tuffaceous sandstone deposits, (petrography sample depth 3000 – 3002 m), conglomerate as quartz granule conglomerate (petrography sample depth 3051 m) and sandy conglomerate (petrography sample depth 3062.5 m). This volcanic reservoir is divided into three facies: massive tuffaceous sandstone, laminated tuffaceous sandstone, conglomerate facies. These group faciesareveryimportantinthe petrophysic calculation toget a reservoir model (texture, mineralogy and diagenetic process), so we wouldgetrelativelyappropriate reservoir character withthe real situation.
METHODOLOGY
Due to the complexity of the volcanic reservoir, it was decided that geological work would have to be detail to allow an independent evaluation of the well. The complexity would be influenced by depositional texture, mineralogy and diagenetic processes. This complexity would influence porosity type and water saturation estimation. Therefore integrated study of petrography, SEM, and sidewall core are needed on Jatibarang Formation. It is also have to compare with FMI to identify porosity type. Realistic characterization of volcanic reservoir is a problem because logging tools are not designed to detect the volcanic reservoir. This integrated study aims to determine the characteristics of volcanic reservoir based on porosity type and mineralogy on “Ratu-1” well. It is planned to further develop the technique for the interpretation of other volcanic reservoir among area study.
FACIES ANALYSIS
The result of an integrated study of petrography performed on few SWC and cutting samples which supported by SEM and XRD analysis that are selected samples respectively from the “Ratu-1” well in Jatibarang Formation will be discuss in terms of their depositional textures, composition, diagenesis, and reservoir quality and their controls, as below.
Based on petrography analysis the samples, there were three main facies which would be analyzed in this research; massive tuffaceous sandstone, laminated tuffaceous sandstone, and conglomerate.
Tuffaceous Sandstone Facies
In general the tuffaceous sandstone (sample depth 3000-3002 m) of Jatibarang Formation commonly very fine grained to clay in sizes. Based on petrography data, this lithology type consists of monocrystalline quartz (3%), carbonaceous materials (14.00%), and altered product of argillaceous clay / sericite as ground mass matrix (81%). Relict of flowing structure of glass mass may able to detect (K-P, 4-6, Figure 2). In the other cuttings a concentrations of epidote mineral as a product of geothermal alteration was identified. The result of X-ray diffraction (XRD) analysis on cutting sample at depth 3000-3002 m demonstrates that the rock consists predominantly of quartz (71%, from devitrification process of glass), plagioclase (5%), pyrite (1%), illite (6%), kaolinite (10%), and chlorite (6%).
The diagenetic event occurs in this volcanic facies is very difficult to be detected except weathering product of alteration glass to clay minerals. Probably minor dissolution of selective glassy matrix is to form secondary porosity. Petrographic observation under the microscope and scanning electron microscope (SEM) examination show the rock in this facies has low porosity (2.00% by volume). Interconnectivity among pores is very poor and it is represented by local dissolution pore type. Based on petrographic examination on their texture, the depositional environment of this volcanic sediment probably is in an open sub-aerial of low land area.
Based on FMI, this facies is comprised of mainly volcanic tuff. Tuff are predominant massive, although locally remnant laminated facies are observed and in places demonstrate well developed scour and fill structures. Laminated tuffs are best interpreted as having been deposited in subaqueous conditions.
There is very little indication of stratigraphic zone in this facies. What is appear on the image to be a major erosive surface occur at 3032 m. Laminate tuffs are more common below this surface (major erosive surface), indicating more obvious waterlain sediments. Above this surface tuffs are generally more massive (major erosive surface). (Figure 3).The top of this facies at 2970 m is marked by an obvious angular unconformity. The tuffs below the unconformity are washed out down to a depth of approximately 2980 m and this is probably a result of weathering below the unconformity. This facies does not demonstrate any reservoir potential being comprised of 100% tuffs with no effective porosity, only in some interval which indicates fracture porosity.
Conglomerate Facies
This facies is classified as quartz granule conglomerate (sample depth 3051.0 m) and sandy conglomerate (sample depth 3062.5m). Conglomerate facies has granule to coarse sand in grain size. It has grain sizes mean 4 mm, poorly sorted, rounded – sub rounded, and observed domination of point contact type. The grains composition is dominated by rock fragments such as sedimentary rock fragment (quarzite and poly crystalline quartz) and also individual quartz grains with their sizes range from sand size up to > 4mm. Sand size quartz grains exist as in matrix mixed with argillaceous clay. The argillaceous clay matrix is probably consists of illite and kaolinite (Figure 4). The results of X-ray diffraction (XRD) analysis on 2 (two) samples of conglomerate facies in Jatibarang Formation demonstrate that the rocks consist predominantly of quartz (89 – 96%), with minor pyrite (trace), illite (trace – 1%), and kaolinite (4 – 10%). (Figure 5).
The diagenetic events occur in this conglomerate fasies are dominated by quartz overgrowth, followed by replacement of feldspar by kaolinite and illite (Figure 5), and fracturing process to form secondary porosity. Petrography observation under the microscope and scanning electron microscope (SEM) examination show the rocks in this facies have moderate porosity values (11.00 – 15.00% by volume). It is represented by intergranular and secondary fracture porosity types. Interconnectivity among pores is relatively good. Based on petrography analysis, the depositional environment of the conglomerate facies of Jatibarang Formation can be interpreted deposited in sub aerial alluvial plain (braided channel).
Based on FMI, this facies show that mixture of massive and cross-bedded sandstones, pebbly sandstones and conglomerates, and are best interpreted as stacked braided fluvial channel deposits. Cross bedding below 3058 m indicates palaeoflow to SW. The upper part of this braided fluvial section, above 3050m, is characterized by finer grained laminated and massive shaly sand indicating channel abandonment and the demise of fluvial deposition.
FORMATION CHARACTERIZATION OF VOLCANIC RESERVOIR
Formation characterization of volcanic reservoir at “Ratu-1” well is defined as the description process either qualitative or quantitative by using the available data (petrography, sidewall core, FMI, and petrophysic analysis). Based on available data, the volcanic rock is classified into volcanic clastic because it has been mixed with the sedimentary sediment. Integrated study of petrography, core, and FMI has been done above, so the author has to compare it with electrofacies and well log analysis to get the reservoir characterization both quantitatively and qualitatively.
Petrophysically derived porosity must be tuned to the volcanic clastic reservoir and matrix are generally required to be variable as the rock type changes. This volcanic clastic reservoir of “Ratu-1” well divided into three facies and they are confirmed by cross plot of RHOB and TNPH at Jatibarang Formation which are make cluster for each facies: massive tuffaceous sandstone, laminated tuffaceous sandstone, and conglomerate facies. Based on cross plot, “Ratu-01” well, there are three group facies which are show the different characters of well log value.
The formation of the Jatibarang volcanic rock created complex geological phenomena in both lateral and vertical directions. These conditions cause difficulties in making geological descriptions which represent the development of each volcanic lithology. The lithology complexity influences the physical properties of the rock. A study which is related to reservoir requires a basic reference parameter that is generally applicable to all types of volcanic lithology.
The authorperforms petrophysic calculationbasedonintegrated study of petrography,core, and FMI parameters, in order to getthe value ofporosityandpermeabilityfromlogand also is comparedto petrographyandcoreporosities.(Figure 8 ; Table 2). The parametersare expectedtobe areferencefor thepetrophysics calculation in the otherwellsamongthe study area.
Reservoircharacterization wascarried outafterlookdistribution of eachfaciesinhorizontal. Theporosity influences onthe quality ofthe reservoirbasedon classification of Koesoemadinata, (1978).Reservoir quality of Jatibarangformation, "Ratu-01" well in each facies based on classification ofcanbe seenin Table2. According to reservoir quality from Koeseomadinata (1978), the best reservoir is conglomerate facies which is sitting directly on the basement. It is a series of coarse grained clastics that are 17 m thick in the “Ratu-01” well. Koesoemadinata (1978)
CONCLUSION
From the study that has been conducted, several main conclusions can be derived.
1.The lithology complexity of volcanic are influence the physical properties of the rock.
2.Integrated study of petrography, SEM, and XRD are needed on Jatibarang Formation and compared with FMI and well log to identify reservoir characterization.
3.Based on integrated study of petrography, core, XRD, FMI, and well log, and also is compared to well log analysis and electrofacies. The author is divides this volcanic reservoir of “Ratu-1” well into three facies; massive tuffaceous sandstone, laminated tuffaceous sandstone, and conglomerate facies.
4.Based on petrographic analysis, reservoir quality of massive tuffaceous sandstone facies have porosity value = 2%, and conglomerate facies have porosity value = 11-15%.
5.Based on petrophysic calculation, each facies has a different petrophyisic parameters such as;
6.According to reservoir quality from Koeseomadinata (1978), the best reservoir is conglomerate facies. This facies has granule to coarse sand texture in grain size. The grains composition is dominated by rock fragments such as sedimentary rock fragment (quarzite and poly crystalline quartz) and also individual quartz grains and sand size quartz grains exist as in matrix mixed with argillaceous clay (illite and kaolinite).
7.The Jatibarang volcanic reservoir in this study area is only compatible for this case, and can not be applied for other fied because the volcanic reservoir is very unique. It is need comprehensive analysis.
ACKNOWLEDGEMENTS
We would like to thank PT Pertamina EP Region Jawa and BPMIGAS for their permission to publish these data. We are acknowledgement IPA technical committee for accepting this paper to be published and the IPA reviewer for improving the manuscript.
REFERENCES
Arpandi, D., and Patmosukismo, S., 1975, The Cibulakan Formation as One of The Most Prospective Stratigraphic Units In The North-West Java Basinal Area: Proceedings Indonesian Petroleum Association, 4th Annual Convention, p. 182.
Kalan, T., Sitorus, H.P., and Eman, M., 1994, Jatibarang Field, Geologic Study of Volcanic Reservoir for Horizontal Well Proposal: Proceedings Indonesian Petroleum Association, 23th Annual Convention, p. 230-231.
Cholidy, H., Reminton, and Unggul, P., 1985, A Hydrocarbon Generation Analysis in Northwest Java Basin Using Lopatin's Method: Proceedings Indonesian Petroleum Association, 14th Annual Convention, p. 121.