Coalbed methane (CBM), atau coalbed gas, adalah deposit gas alam/metana dalam pori-pori batubara. CBM dikenal juga sebagai ‘sweet gas’, karena sedikitnya kandungan sulfur (dalam bentuk hidrogen sulfida). CBM terbentuk secara alamiah, yang berasal dari tanaman yang terperangkap selama ribuan tahun dan terserap ke dalam batubara. Kehadiran gas ini umumnya ditemukan dalam pertambangan batubara di dalam tanah. Karena sifatnya yang mudah meledak apabila ada percikan api, maka keberadaan gas ini memerlukan penanganan serius untuk mencegah kecelakaan kerja.

Produksi CBM
Cekungan yang mengandung CBM memiliki sifat yang sangat berbeda dengan cekungan pasir (sand reservoir), dengan karakteristik sebagai berikut :
  • Metana tersimpan dalam matriks (pori-pori batubara) melalui proses adsorpsi. Metana terkandung dalam bentuk mendekati cairan, “membasahi” sisi dalam pori-pori batubara.
  • Porositas matriks umumnya mengacu pada ukuran cleat (retakan sepanjang batubara), dan bukan porositas batubara tersebut. Porositas ini umumnya sangat rendah jika dibandingkan cekungan tradisional (kurang dari 3%).
  • Gas seringkali terperangkap (namun tidak selalu) dalam batubara, tersegel di dalam batubara dengan kejenuhan air 100%. Cekungan ini harus dikeluarkan airnya sebelum gas metana dapat terdesorpsi dari batubara.
Untuk memproduksi CBM, lubang sumur yang diperkuat dengan pipa baja digali melalui lapisan batubara/coal seam (200-1500 meter di bawah permukaan). Dengan berkurangnya tekanan di dalam lapisan batubara, akibat adanya lubang di permukaan atau masuknya sejumlah kecil air pada coalbed, baik gas maupun air mengalir ke permukaan melalui pipa. Gas yang keluar dari sumur ini kemudian dikirim ke stasiun kompresor menuju jalur pipa gas alam. Air yang ikut keluar bersama gas ini dapat diinjeksikan kembali ke formasi yang terisolasi, dimasukkan ke aliran air dalam pipa, atau digunakan untuk irigasi. Air yang keluar umumnya mengandung natrium bikarbonat dan klorida.

Laju produksi sumur CBM sangat rendah, umumnya berkisar antara 300 ribu cubic feet per hari (sekitar 0,1 m3/detik), dan umumnya memerlukan biaya tinggi. Profil produksi sumur CBM umumnya memiliki karakteristik laju alir gas “negative decline”, karena produksi CBM terjadi setelah air dipompakan dan gas mulai terdesorpsi dan mengalir. Sumur CBM yang kering terlihat tidak berbeda dengan sumur pada umumnya, kecuali laju alir gas yang lebih rendah dan senantiasa menurun.

Proses desorpsi metana mengikuti kurva isoterm Langmuir (kandungan gas vs. Tekanan reservoir). Kurva isoterm ini dapat dideskripsikan secara analitik dengan volume gas maksimum (pada tekanan tak terhingga), dan tekanan saat separuh dari gas yang ada keluar dari batubara. Parameter tersebut (disebut volume Langmuir dan tekanan Langmuir) merupakan sifat batubara, dan sangat bervariasi. Batubara di Alabama jika dibandingkan batubara di Colorado dapat memiliki parameter Langmuir yang sangat berbeda, walaupun memiliki sifat-sifat lainnya yang serupa.

Karena produksi gas dilakukan pada cekungan batubara, maka perubahan tekanan diduga dapat menyebabkan perubahan terhadap porositas dan permeabilitas batubara. Hal ini dikenal juga sebagai matrix shrinkage/swelling (pengerutan/pemekaran matriks). Saat gas terdesorpsi, tekanan gas di dalam pori berkurang, menyebabkan batubara mengkerut dan mencegah aliran gas keluar batubara. Dengan mengkerutnya pori, maka seluruh matriks akan mengkerut, yang akan memperbesar ruang untuk gas keluar melalui cleat, dan meningkatkan laju alir gas.

Perkiraan Cadangan Dunia dan Pemanfaatan CBM
Pada tahun 1997, US Geological Survey meramalkan cadangan CBM sebesar 700 tcf (trillion cubic feet), atau sekitar 20,000 km3 di Amerika Serikat. Dengan harga gas alam sebesar USD 6,05 per MM BTU (USD 5,73/GJ), cadangan tersebut senilai USD 4,37 trilyun. Paling tidak sekitar 100 tcf (2,800 km3) sangat layak untuk diproduksi. Sedangkan wilayah British Columbia diperkirakan memiliki cadangan sekitar 90 tcf. Harga gas alam yang tinggi membuat CBM sangat layak untuk diproduksi saat ini.

CBM dapat digunakan sebagaimana penggunaan gas alam konvensional, yaitu untuk bahan bakar rumah tangga, bahan baku industri petrokimia, serta sebagai bahan bakar alternatif untuk kendaraan bermotor dan pembangkit listrik. Karena CBM secara alami memberikan hasil pembakaran yang bersih, maka hanya diperlukan sedikit pemrosesan tambahan untuk mengurangi dampak lingkungan akibat pemanfaatan CBM.

Potensi CBM di Indonesia
Di Indonesia, CBM sudah dipertimbangkan untuk dijadikan sumber energi alternatif dalam mengatasi krisis energi. Dari hasil kajian Lemigas pada tahun 2005 lalu, cadangan CBM di Indonesia cukup besar, mencapai 400 tcf (bandingkan dengan cadangan gas konvensional yang hanya sekitar 195 tcf).  


Terdapat 11 potensi CBM di Indonesia yang telah diidentifikasi, yaitu di Ombilin, Sumatra Selatan, Bengkulu, Jatibarang, Barito, Kutai, Tarakan, Berau, Pasir, Asam-asam, dan Sulawesi Tenggara, dengan cadangan terbesar di Sumatra Selatan sebesar 183 tcf. Saat ini, sebagai bagian dari upaya eksplorasi, sejak bulan April 2005 telah dilakukan pengeboran satu sumur di Pandopo Rambutan, Prabumulih, Sumatra Selatan oleh Badan Litbang ESDM dan Lemigas. Diharapkan produksi CBM ini dapat dijadikan alternatif untuk pembangkit tenaga listrik, terutama di daerah Sumatra Selatan.

by : Zulfikar